Membangun Pulau Rempang Tidak Harus Serampangan

Membangun Pulau Rempang tidak harus serampangan - opini
Membangun Pulau Rempang tidak harus serampangan - opini
Indonesia Memilih

Membangun Pulau Rempang, idealnya mengikutsertakan masyarakat tempatan, berproses secara beradab dan beradat.

Kalau pun tidak, janganlah sampai demi membela ambisi investor harus merugikan hak serta kepentingan rakyat sendiri.

Bacaan Lainnya
Banner 728309

Oleh: Jacob Ereste

SEPERTINYA hanya dengan begitu rakyat akan percaya bila pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berpihak kepada rakyat.

Jika tidak, maka pantas dan patut apa saja bentuk pembangunan dinilai tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat.

Akibatnya memang akan terjadi pembangkangan atau bahkan perlawanan, karena dinilai tidak mendatangkan manfaat atau bahkan menggusur dan menyingkirkan rakyat.

Perlawanan ribuan rakyat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri) yang hingga kini masih bergolak, sepatutnya segera ditemukan jalan tengah terbaik untuk semua pihak.

Kalau pemerintah tetap ngotot melaksanakan rencana pembangunan di kawasan itu lantaran terlanjur bersepakat dengan investor, ada baiknya ditinjau ulang.

Sehingga berikutnya akan lebih mudah menemukan kata sepakat dengan masyarakat setempat —yang justru jauh lebih berhak memiliki dan menikmati wilayah pemukiman yang sudah sejak tahun 1834 mereka jadikan sebaagai kampung halaman tersebut.

Lahan atau tempat tinggal yang ditempati secara turun-temurun sejak nenek-moyang mereka masih menjadi “Prajurit Kesultanan Riau-Lingga” itu jelas tidak bisa dinilai begitu saja secara materi, karena kandungan historinya mempunyai nilai-nilai immaterial —yaitu spiritual— yang tidak bisa diabaikan begitu saja untuk menilik beragam sengketa pertanahan di Indonesia.

Karena itu, pemerintah tidak boleh semena-mena mengklaim suatu wilayah atau daerah sebagai milik negara.

Setidaknya, negara baru hadir setelah adanya suku bangsa Nusantara —yang baru kemudian bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meski sejak UUD 1945 telah diubah dan diobrak-abrik oleh DPR RI dengan jargon amandemen, sebutannya berubah menjadi Negara Republik Indonesia (NRI).

Situasi dan kondisi warga masyarakat Pulau Rempang Kepri sungguh telah menjadi perhatian dan keprihatinan nasional, menjadi tontonan bagi bangsa-bangsa di dunia terkait iklim investasi yang tidak mulus dan tidak harmoni kehadirannya di tengah masyarakat tempatan.

Keresahan dan kecemasan akibat rasa tidak aman telah merusak mimpi anak bangsa setempat untuk hidup rukun, damai dan sejahtera dengan berkehidupan secara nyaman-damai bersama seluruh kerabat, sahabat maupun segenap anggota keluarganya.

Ironisnya, harmoni di Pulau Rempang yang telah berlangsung berabad-abad, pada 7 September 2023 tercoreng kericuhan yang sesungguhnya sangat tidak perlu terjadi.

Perseteruan antara aparat gabungan dengan warga masyarakat setempat dikhawatirkan semakin meluas dan mengakibatkan korban lebih banyak.

Dera dan derita warga masyarakat Pulau Rempang itu telah menyulut solidaritas, kebersamaan atas rasa senasib dan sepenanggungan di wilayah lain bahkan hingga jauh ke daerah-daerah lainnya.

Perselisihan maupun perseteruan antara aparat pemerintah dengan masyarakat Pulau Rempang harus segera dihentikan dengan cara membuat kesepakatan saling menguntungkan, tidak memaksakan keinginan sepihak.

Satu diantara cara terbaik penyelesaian masalah di Pulau Rempang adalah memberikan hak kepada masyarakat setempat yang ingin tetap bermukim serta berkehidupan di wilayah tersebut.

Bagi warga yang bersedia direlokasi ke tempat baru, hendaknya hak mereka dipenuhi secara wajar. Ini menjadi syarat untuk kesepakatan bersama.

Memang, pemerintah mengharapkan investasi perusahaan asing di Indonesia bisa mendukung dan meningkatkan ekonomi negara agar semakin membaik, tapi tidak harus mengorbankan rakyat sendiri yang sejatinya wajib dilindungi.

Kendati iming-iming yang menggiurkan dari rencana membangun pabrik kaca asal Chengdu China akan menciptakan banyak lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi hingga menyundul langit, toh masyarakat sudah memiliki banyak pengalaman agar tak cuma dijadikan obyek pembangunan semata, seperti berulang kali terjadi di daerah lain di negeri ini.

Dalam kalkulasi nilai kemanusiaan, keterlibatan masyarakat Pulau Rempang bisa tergambar jelas dalam pengelolaan lahan seluas 17 ribu hektar itu —agak naif harus dikosongkan— hingga terkesan takkan melibatkan mereka lagi.

Lantas, masyarakat mana yang akan diajak menghidupkan mesin industri yang hendak dibangun itu nanti?

Ini tentu sangat janggal bagi Melayu pribumi yang telah berabad-abad bermukim di Pulau Rempang, sehingga sangat wajar mereka curiga pulau warisan nenek-moyang itu akan dijadikan wilayah eksklusif yang tidak dibaurkan dengan masyarakat setempat.

Karena itu, solusinya adalah membuat kesepakatan yang jelas bisa saling menguntungkan antara pihak investor dengan warga masyarakat tempatan.

Misalnya melokalisasi area hunian penduduk yang ada untuk kemudian memberi akses serta kesempatan pertama bagi mereka menjadi pekerja atau membangun lingkungan usahanya terkait proyek raksasa dalam bentuk atau wujud apapun yang hendak dibangun kemudian di Pulau Rempang.

Bahkan mungkin, mendorong warga masyarakat sekitarnya —sejak awal— seperti di Pulau Galang untuk mempersiapkan diri menjadi bagian pendukung segenap perusahaan yang akan dibangun.

Toh di Pulau Galang serta Batam, dapat dimanfaatkan juga menjadi tempat hunian, dormitory, asrama, dan mess pekerja yang mungkin tidak perlu dibangun di Pulau Rempang. **

 

Baca selengkapnya di GOOGLE NEWS KompolmasTV

Banner 728309

Pos terkait

Ekowisata Serunting - Wisata Bengkulu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *