Kekayaan Bahasa Ucap Kita: Memiting, Membulldozer, Perlu Terus Diingat Agar Tidak Punah Seperti SDA di Negeri Ini

Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono
Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono.
Indonesia Memilih

Semasa kecil dulu, kemampuan teknik berkelahi ala kampung yang bisa saya lakukan cuma memiting.

Artinya, jika ada peluang mengunci leher lawan dengan menjepitkan lengan sehingga leher musuh bisa di-press di antara engsel siku, maka sang lawan bisa langsung keok.

Bacaan Lainnya
Banner 728309

Jika tidak segera menyerah, maka lawan bisa mati kehabisan nafas. Begitulah ampuhnya PITING.

Oleh: Jacob Ereste

TAPI Teknik berkelahi cara kampungan ini, bisa di atasi dengan banyak belajar dari jurus bela diri yudo.

Ini dapat dilihat dari tayangan Unlimited Fighting Champion (UFC) yang banyak ditayangkan televisi manca negara yang telah mengembangkan pertandingan bela diri secara bebas dan profesional itu dengan hadiah aduhai nilainya.

Yang menarik, tentu saja dalam kegagahan yang dipertandingkan itu, sportivitas sangat dijunjung tinggi, sehingga bagi yang menang tak perlu jadi jumawa.

Sedangkan yang kalah, biasa-biasa saja menerima kekalahan dirinya dengan legowo.

Apalagi ketika berhadapan di arena pertarungan, ada kesadaran bila musuh sudah tidak berdaya, tak lagi perlu dihabisi secara membabi buta.

Sebab pertandingan seperti itu, masih mengedepankan nilai etika dan moral, bahkan akhlak sebagai tontonan yang juga diharap memberi pelajaran positif dengan budaya kemanusiaan tetap terjaga.

Itulah sebabnya ada hasrat yang menyenangkan untuk ikut belajar bela diri dalam berbagai model, seperti yudo, jiu jitsu, kempo, karate, kungfu atau muay thai, meski sebatas teknik dasarnya saja, karena memang sekadar untuk pengganti olah raga dan sedikit memiliki cara menjaga diri dari keisengan orang lain yang nakal.

Atas dasar itu juga, anak-anak dan cucu dianggap patut untuk mempelajari teknik bela diri yang dianggap menarik dan sesuai dengan keinginannya.

Sebab yang penting mereka pahami, bahwa harus bisa mengatasi perilaku atau bahkan tindak kejahatan yang mungkin harus mereka hadapi dalam tata kehidupan yang semakin keras dan brutal sekarang.

Lalu latihan rutin, sekadar kompensasi dari olah raga yang patut dijaga, ada latihan ekstra di rumah dengan cara mengembangkan sejumlah teknik yang dianggap perlu, sekaligus untuk melenturkan otot dan memperkuat teknik mencengkeram, agar sedikit mempunyai kemampuan mengamankan lawan yang bergerak liar dan bisa membahayakan diri sendiri atau orang lain.

Artinya, niat untuk belajar teknik bela diri sekadarnya itu bukan semata untuk diri sendiri, siapa tahu kelak juga dibutuhkan orang lain yang perlu mendapat bantuan dari diri kita yang memiliki sedikit ilmu bela diri tadi.

Jadi, teknik atau budaya memiting itu dalam perkelahian atau untuk mengamankan orang sedang ngamuk, sebetulnya teknik lama yang tidak lebih beradab dari teknik terbaru yang dapat dilakukan tanpa harus secara kasar.

Apalagi sekadar untuk mengamankan warga sendiri atau tetangga di kampung kita yang memberingas akibat sesuatu hal yang tidak dia sukai, atau karena merasa hak-haknya telah dikangkangi orang lain.

Ungkapan Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono SE MM CSFA sepatutnya dapat dipahami sebagai bahasa ucap internal kalangan prajurit dalam upaya memberi semangat bertugas, agar tak gentar menghadapi segala bentuk situasi di lapangan yang harus diatasi.

Tidak perlu diartikan bahasa ungkap itu untuk menghadapi rakyat yang sedang menyampaikan aspirasinya dengan cara aksi unjuk rasa, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau (Kepri).

Karena bagaimana pun, TNI itu lahir dari rahim rakyat yang tidak boleh dikhianati seperti Malin Kundang, si anak durhaka dan terkutuk.

Karena itu, sikap tegang yang terlanjur membuat masyarakat gerah, karena pilihan selera bahasa yang terkesan aduhai itu, tidaklah perlu disimpan di dalam hati.

Permakluman wajar dan patut diberikan, karena mungkin dalam pendidikan akademi militer kita, perlu juga lebih diperbanyak pelajaran sastranya, terutama dalam tata krama bertutur kepada rakyat dengan bahasa rakyat.

Yang penting, dalam istilah piting-memiting itu kita bisa menyadari dan mengingat, betapa kayanya khazanah bahasa ucap suku bangsa kita, agar tak sekadar bergunjing tentang kekayaan alam kita yang kini juga nyaris punah.

Termasuk lahan di berbagai tempat —tak hanya di Pulau Rempang— yang akan segera mem-bulldozer warga setempat, tapi juga di tempat lain seperti Wadas di Purworejo serta ribuan lahan di Air Bangis, Sumatra Barat dan daerah lain —perlu kita do’akan agar tidak melupakan serta tidak merugikan penduduk sekitarnya.

Begitu juga bahasa ucap “gusur” dan “bulldozer” yang tidak baru muncul pada era pembangunan yang sangat dominan menyingkirkan rakyat ini, karena memang istilah gusur dan buldozer sudah populer sebelum disebutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan kepada mereka yang hendak menghalangi investasi.

Padahal, masyarakat Pulau Rempang ingin ikut dalam pengembangan investasi raksasa itu, agar mereka tidak semakin kerdil dan jadi penonton saja dari proyek di sekitar kampung mereka yang telah dihuni sejak tiga abad silam itu.

Begitulah kisah dari istilah piting-memiting dan buldozer dahulu dari kampung kami yang kini jadi semakin populer untuk kembali memperkaya khazanah bahasa dan sastra Indonesia yang tak juga tengah dimiskinkan secara sistematis, masif dan strukturalism sifatnya dalam iklim politik di negeri ini.

Untung saja, saat paparan ulasan ini sedang dibaca ulang oleh Tim Bahasa pada Selasa (19/9/2023) sore, tim kami mendapat kiriman foto wajah dan rekaman pernyataan permintaan maaf langsung dari Laksamana Yudo Margono.

Sehingga menjadi semakin relevan untuk disebut serba kebetulan seperti pepatah lapuk dahulu yang mengungkapkan “pucuk dicinta ulam pun tiba” sungguh persis seperti apa adanya tulisan ini. Sehingga tidak jadi kami pasang foto diri kami pribadi. **

Baca selengkapnya di GOOGLE NEWS KompolmasTV

Banner 728309

Pos terkait

Ekowisata Serunting - Wisata Bengkulu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *