LGBT, Kakacauan Kiblat Seksual dalam Berbagai Perspektif

LGBT, kakacauan kiblat seksual dalam berbagai perspektif
LGBT, kakacauan kiblat seksual dalam berbagai perspektif. [Foto: Ilustrasi]
Indonesia Memilih

LGBT Semakin marak diperbincangkan. Tidak sedikit masyarakat, terutama anak muda, mencoba melegalkan LGBT, menutup mata bahwa perilaku tersebut adalah wujud penyimpangan yang terlarang.

Banyak kalangan berpendapat, menyadarkan masyarakat muda agar tidak ikut serta dalam penyimpangan LGBT adalah keniscayaan.

Bacaan Lainnya
Banner 728309

LGBT dalam perspektif kesehatan, agama, dan psikologis, kaum LGBT dipandang berbahaya, bertentangan dengan hukum alam sebagai manusia, dan tidak bermoral.

Kasus penyimpangan LGBT dilarang baik oleh agama maupun negara, ini diketahui melalui beberapa ayat Al-Quran dan undang-undang yang menekankan bahwa LGBT merupakan penyimpangan yang tidak boleh ditiru.

Dari sisi etika deontologi, para pelaku LGBT sering menganggap diri mereka adalah korban dan membutuhkan sesuatu untuk menolong mereka bebas.

Deontologi aturan menyatakan bahwa penilaian moral diukur dengan standar yang ditetapkan, bukan dengan kesenangan atau kesengsaraan, sehingga perilaku yang pantas dianggap bermoral.

Deontologi perilaku di sisi lain berpendapat bahwa apakah suatu tindakan itu bermoral tergantung pada bagaimana ia memenuhi tanggung jawabnya kepada orang lain. Namun sering sekali mereka menampakkan hal-hal buruk kepada masyarakat umum.

Pelaku LGBT dapat dikatakan bebas jika mereka memiliki karakter yang baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Pada dasarnya, hukum di Indonesia belum memiliki alat paksa khusus untuk menindak para pelaku LGBT, tapi dalam hal ini Indonesia memiliki hukum yang berhubungan dengan norma kesopanan dan kesusilaan.

Dilema menyikapi LGBT dan jalan tengahnya diulas dalam artikel berikut, yang mengupas tuntas hasil riset pada November 2022, tentang LGBT sebagai kekacauan kiblat seksual dalam perspektif agama, psikologi, HAM, deontologi, dan larangannya dalam hukum di Indonesia.

♦♦♦

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) mulai populer digunakan sebagai istilah pengganti derivat kumpulan gay sejak tahun 1990.

Sebelum “revolusi seksual” tahun 1960-an, tidak ada istilah khusus untuk homoseksualitas. Istilah paling dekat dengan orientasi non-heteroseksual adalah “jenis kelamin ketiga” yang digunakan sekitar tahun 1860-an.

Era berikutnya, gay dan lesbian lebih disukai digunakan mengganti istilah homoseksual sebagai identitas sosial di masyarakat karena tidak berbunyi kata seks.

Istilah biseksual muncul setelah ditemukan bahwa banyak orang memiliki orientasi seksual sesama jenis dan lawan jenis.

Istilah LGBT menyulih semua kalangan yang mengalami kekacauan kiblat seksual tersebut, baik penyuka sesame jenis, suka keduanya, serta kelompok berperilaku atau penampilan tidak sesuai kodratnya.

LGBT memantik pro dan kontra di Indonesia, meski negara yang kuat memegang adat istiadat serta agama ini sangat tidak mendukung perilaku tersebut.

Masyarakat diwajibkan cakap menumbuhkan kewaspadaan sosial terhadap LGBT, sementara pemerintah juga tidak boleh angkat tangan serta berlindung dalam takrim terhadap hak azasi manusia (HAM).

Beraneka rupa tontonan serta bacaan tidak pantas dan terkesan melegalisasi LGBT wajib dipertimbangkan dan dievaluasi kembali, karena negara berkewajiban menjaga nilai-nilai serta standar moral dan etika yang dianut masyarakatnya.

Dukungan terhadap LGBT memang tidak sedikit. Terlihat dari banyaknya remaja Indonesia yang suka membaca novel atau webtoon dan menonton drama LGBT.

Menganggap perilaku ini lucu dan sangat menghibur, mereka kemudian mengatakan “kami kan hanya menyukai, bukan berarti kami melakukan.”

Pernyataan tersebut artinya sama saja, walaupun mereka tidak melakukan hal dimaksud, tapi mereka termasuk pendukung LGBT. Ini dapat merusak karakter kepribadian mereka sebagai generasi penerus bangsa.

Sekarang hanya suka melihat, namun dengan seringnya melihat, lama-lama akan terpengaruh juga dan pada akhirnya menjadi pelaku.

Baru-baru ini, publik dikejutkan kabar bahwa ratusan siswa SMP tergabung dalam grup media social Facebook yang diduga cenderung berorientasi pada LGBT.

Anak-anak yang seharusnya fokus pada pelajaran di sekolah terseret ke dalam kehidupan orang-orang LGBT tentu menjadi kenyataan sangat menyedihkan.

Mantan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Erzaldi Rosman Djohan menilai, LGBT sangat dipengaruhi pendidikan dini dan pergaulan di lingkungan masing-masing sehingga harus dihindari dengan menanamkan pendidikan mental positif yang kuat terhadap anak.

“Perilaku menyimpang berupa LGBT itu muncul akibat pendidikan anak usia dini yang salah, makanya pendidikan karakter perlu diperkuat sejak dini,” ujarnya saat membuka seminar Agama dan Fenomena GMT, di Koba, Kabupaten Bangka Selatan, Selasa (8/3/2016).

Erzaldi berpendapat, pendidikan yang berhasil itu jika mengedepankan perbaikan karakter dan mental anak didik, karena itu pondasi untuk pendidikan lainnya.

LGBT bisa membahayakan kesehatan, merusak pendidikan dan moral anak penerus bangsa hingga mengancam keutuhan NKRI di kemudian hari.

LGBT dalam Perspektif Agama Islam

Islam secara tegas mengutuk keras LGBT sembari memberi gambaran ancaman sanksi berat bagi seluruh ummatnya yang coba melanggar ketetapan tersebut.

Seperti termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 81 :

اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ 

Artinya : “ Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada
perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”(QS. 7:81).

Al-Qur’an juga menceritakan kisah kaum Nabi Luth yang berperilaku LGBT. Nabi Luth yang mengetahui hal tersebut langsung menegur kaumnya agar menjauhi hal demikian.

LGBT di mata Nabi Luth disebut sebagai kebodohan, permusuhan, rusak dan dosa.

Kebenaran kisah ini dipertegas dalam hadits Rasulullah Muhammad SAW yang menyatakan:

“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan Kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya,” diriwayatkan Abu Dawud.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan At-Turmuzi, Rasullah Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan Kaum Luth.”

Hukum Islam menyatakan bahwa homoseks ini disebut sebagai istilah “liwath“.

LGBT sangat identik dengan homoseksual pada kaum Nabi Luth yang merupakan perbuatan keji dan berdosa besar.

Homoseksual juga termasuk salah satu perbuatan merusak etika, fitrah manusia, agama, dunia, bahkan merusak kesehatan jiwa sehingga Allah SWT mengecam perbuatan ini dengan siksa maksimal.

Azab bagi kaum Nabi Luth sendiri telah diturunkan Allah SWT berupa terbaliknya permukaan bumi sehingga menelan kaum durjana tersebut.

Ash-Shabuni menulis (1994:87), homoseksual adalah puncak segala keburukan dan kekejian, sebab hampir tidak ditemukan seekor binatang jantan mengawini binatang jantan lainnya, tapi keganjilan itu justru terdapat pada manusia.

LGBT dalam Perspektif Psikologi

Dari sudut pandang psikologis, diri manusia adalah keseluruhan yang tertutup, tetapi selalu ada aspek dalam penampilannya, yakni jasmani (physical), naphsia (mental), dan spiritual (mental transendental).

Keberadaan LGBT menurut Rosario et al adalah:

“Pembentukan identitas gender LGBT adalah proses yang kompleks. Tidak seperti anggota kelompok minoritas lainnya (seperti etnis dan ras minoritas), sebagian besar individu dalam kelompok LGBT tidak tumbuh dewasa, dalam komitmen yang sama mereka harus belajar tentang identitas mereka, dalam komunitas yang peduli dengan homoseksual”.

Psikolog Tika Bisono memaparkan, perilaku LGBT dapat disembuhkan dengan psikoterapi bagi mereka yang terpengaruh lingkungan dan terapi hormon di rumah sakit bagi mereka yang memiliki penyebab faktor hormonal.

Psikolog klinis dan hipnoterapis Liza Mariely Japlier menjelaskan dalam The Dictionary of Psychology and Great Psychology bahwa LGBT tidak termasuk dalam gangguan mental seseorang.

Sementara kebanyakan psikolog menggambarkan LGBT sebagai transeksual, suatu bentuk gender abnormal.

Ada beberapa pendapat yang menjelaskan penyebab perilaku LGBT disebabkan banyak faktor, antara lain:

  1. Keluarga; berupa pengalaman masa kecil atau trauma seperti kekerasan fisik, mental atau emosional atau pelecehan seksual yang membuat perempuan membenci semua laki-laki.
  2. Sosial dan lingkungan; seperti kebiasaan sosial dan lingkungan anak, seperti tinggal di asrama pria dan wanita yang terpisah.
  3. Biologis; seperti kelainan jenis kelamin yang sangat dipengaruhi oleh faktor genetik.

LGBT dalam Perspektif HAM

Negara Republik Indonesia mengakui bahwa hak azasi manusia (HAM) dan kebebasan dasar manusia yang kodrat dan tidak dapat dicabut, harus dijaga, dihormati, dan diwujudkan untuk melindungi martabat, kesejahteraan, kebahagiaan, kebijaksanaan, dan kesehatan.

Bagi masyarakat Indonesia, perwujudan HAM bukan berarti kebebasan untuk menjalankannya dengan semema-mena, tetapi kepatuhan terhadap ketentuan terkandung dalam Pancasila, yang merupakan pandangan hidup masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya, tidak ada hak yang dapat dijalankan tanpa memperhatikan hak orang lain. Instrumen tersebut antara lain termaktub dalam Pasal 28I dan Pasal 28J UUD 1945.

Dengan demikian, HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada KODRAT manusia dan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dihormati, didukung, dan dijaga oleh semua orang.

Namun, secara jelas dinyatakan bahwa manusia juga memiliki tanggung jawab mendasar atas ketidakmampuannya melaksanakan dan menegakkan HAM, dan tanggung jawab tersebut harus dipenuhi guna menyeimbangkan penerapan HAM.

LGBT adalah penyimpangan dari fitrah manusia. Konsep ini terlihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Hukum Perkawinan.

Perkawinan seperti yang tertera pada Pasal 1 undang-undang tersebut adalah antara seorang pria dengan seorang wanita. Karena itu, pernikahan sesama jenis bertentangan dengan hukum Indonesia.

Di Indonesia, secara umum dapat dimaknai bahwa HAM dapat dikategorikan sebagai berikut:

  1. Hak individu, termasuk kebebasan berekspresi, dan kebebasan menganut dan menjalankan kewajiban agama serta kepercayaan yang dianut.
  2. Hak ekonomi (hak milik), termasuk hak untuk mempunyai, menjual dan menggunakan sesuatu.
  3. Hak Politik atau hak partisipasi.
  4. Hak asasi manusia atas perlakuan dan perlindungan hukum. Misalnya, peraturan penangkapan, penggeledahan, penahanan dan peradilan. Bagi bangsa Indonesia, perangkat hukum harus menjamin perlindungan dan pelaksanaan HAM karena hukum ada untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan.

LGBT dalam Perspektif Etika Deontologi

Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di masyarakat, keberadaan LGBT sebenarnya berpusat pada satu pertanyaan: Apakah perilaku tersebut buruk atau salah?

Termasuk dalam ranah filsafat moral atau etika normatif. Satu-satunya argumen “favorit” para pendukung LGBT adalah teori hak, turunan dari deontologi.

Teori inilah yang menjadi dasar lahirnya konsep HAM yang tidak dapat dipisahkan dari agama, karena jika tuhan tidak memberikan HAM, dari mana hak-hak ini berasal?

Dan secara umum, semua agama, kecuali yang berpandangan liberal, melarang tindakan homoseksual.

Sementara HAM sendiri bukanlah hak semata, tetapi berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban sosial.

Deontologi berasal dari kata Deon (Yunani) yang berarti tugas. Suatu tindakan membutuhkan hasil, dalam hal ini hasil tindakan tidak dipertimbangkan. Perbuatan baik tidak diakui oleh konsekuensinya, tetapi oleh fakta bahwa mereka harus dilakukan.

Deontologi menekankan bahwa tidak ada tindakan yang diizinkan untuk tujuan itu. Alasan yang baik tidak menghasilkan perbuatan baik.

Di sini, tidak ada kejahatan yang harus dilakukan untuk membuat hasil menjadi baik. Karena dalam teori
deontologis, kewajiban adalah wajib dan tidak dapat dinegosiasikan.

Kelompok LGBT percaya bahwa yang mereka lakukan adalah baik. Mereka juga, seperti masyarakat pada umumnya, berusaha menjadi warga negara yang baik dengan memenuhi semua kewajiban kewarganegaraan mereka.

Demikian pula, menurut etika deontologis, perilaku LGBT dinilai baik atau buruk berdasarkan kepatuhannya terhadap kewajiban. Karena dalam etika deontologis dasar perbuatan baik atau buruk
adalah kewajiban.

Pendekatan deontologis lazim dalam konteks agama dan merupakan salah satu teori etika yang paling penting saat ini.

Terdapat tiga prinsip yang harus dihormati, yaitu:

  1. Agar suatu tindakan sah secara moral, tindakan itu harus dilakukan atas dasar kewajiban. Mengenai pelepasan kewajiban kelompok LGBT sebagai warga negara atau manusia, menjadi standar untuk
    menilai moralitas LGBT.
  2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada pencapaian tujuan dari tindakan tersebut, tetapi pada niat baik yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan itu, yaitu walaupun tujuan tidak tercapai, tindakan tersebut masih dianggap baik. Upaya kelompok LGBT untuk menjalani kehidupan terbaik mereka dipandang sah secara moral, bahkan jika mereka tidak selaras dengan kodrat kemanusiaan mereka.
  3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah bagian penting dari tindakan yang dilakukan menurut hukum moral universal.

Di sisi lain, melanggar hak orang lain atau menipu orang lain merupakan praktik yang buruk dan harus dihindari. Bagi Kant, hukum moral ini dianggap sebagai perintah tanpa syarat (the categorical imperative), yang menganggap bahwa hukum moral berlaku bagi semua orang dalam segala situasi dan tempat.

Perintah bersyarat merupakan perintah yang harus dijalankan ketika seseorang menginginkan hasil atau ketika hasil dari suatu tindakan sesuai diinginkan orang tersebut.

Perintah bersyarat adalah perintah yang dijalankan dengan tidak adanya syarat. Artinya, dilakukan tanpa berharap akan hasil, atau mencapai dan menguntungkan seseorang.

Jadi, jika LGBT diakui dan dilindungi secara hukum di satu negara, hal yang sama mungkin berlaku di wilayah dan negara lain. Oleh karena itu, etika deontologis tidak mempermasalahkan konsekuensi dari perilaku LGBT, baik atau buruk.

Konsekuensi dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu
tindakan. Ini membuka peluang untuk merasionalisasi subjektivitas yang memicu penolakan kewajiban moral. Perilaku yang baik tidak berarti hasil yang baik.

Sehingga dapat dipahami bahwa deontologi selalu menegaskan bahwa tidak ada tindakan yang diizinkan untuk tujuan itu.

“Pada dasarnya, aliran pemikiran ini percaya bahwa perilaku moral harus melibatkan penekanan kesadaran diri penjahat, sifat perilaku manusia. Orang dikatakan bertindak untuk nilai aktualnya, bukan hanya karena tindakan tersebut dianggap baik atau buruk, atau karena tindakan tersebut mempengaruhi sebanyak mungkin orang,” Dieksmeyer, 2003 (2013:1-8).

Karena itu, dalam menentukan apakah LGBT dianggap baik, adil, wajar, dan bermoral adalah suatu perbuatan, jika memiliki ciri tersendiri.

LGBT dari sisi kesehatan, agama, dan psikologis dapat dipandang berbahaya, bertentangan dengan hukum alam sebagai manusia, dan tidak bermoral.

Ada beberapa bentuk teori deontologi, dalam hal ini seperti eksistensialisme (etika situasional), dan kewajiban regulasi seperti prinsip tanggung jawab.

Deontologi aturan menyatakan bahwa penilaian moral diukur dengan standar yang ditetapkan, bukan dengan kesenangan atau kesengsaraan. Perilaku yang pantas dianggap bermoral.

Di sisi lain, deontologi perilaku berpendapat bahwa apakah suatu tindakan itu bermoral tergantung pada bagaimana ia memenuhi tanggung jawab kepada orang lain.

LGBT Sebagai Tindak Pidana Kesusilaan dalam KUHP

Secara umum, perilaku menyimpang (LGBT) dapat disebut sebagai perilaku berhubungan dengan standar kesusilaan. Tapi jika menyangkut kejahatan asusila, faktor paling krusial yang harus diperhatikan adalah beratnya pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila).

Setiap tindakan yang dilakukan untuk tujuan melakukan kesenangan seksual namun membahayakan kesusilaan didefinisikan sebagai kejahatan susila.

Sebenarnya tidak ada definisi atau pemahaman khusus tentang tindak pidana kesusilaan dalam konteks LGBT.

Tindak pidana kesusilaan diatur dalam Pasal 281 KUHP yang memuat kriteria subjektif. Secara khusus “dengan perencanaan”, “siapa pun”, “menghancurkan kesusilaan,” dan “di depan umum”.

Unsur subjektif mengganggu kesusilaan dan di muka umum merupakan dua unsur terencana yang termasuk dalam Pasal 281 KUHP.

Karena orang-orang LGBT melanggar hukum dan konvensi sosial masyarakat, maka secara keseluruhan melihat mereka sebagai penyimpangan seksual atau kriminal.

Bab XIV KUHP, buku II, bagian berjudul “kejahatan terhadap kesusilaan”, yang meliputi Pasal 281 sampai dengan 296 KUHP, mengatur pelanggaran moral.

Menurut Pasal 281 KUHP, (1) Setiap orang dengan sengaja merusak kesusilaan di tempat umum; dan (2) Barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di depan orang yang kehadirannya bukan atas kehendaknya sendiri.

Mereka kemudian dipidana jika melanggar Pasal 281 KUHP dengan “diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu rupiah”.

Perilaku LGBT bertentangan dengan pendapat umum, terutama di kalangan pemuka adat dan agama di Indonesia. Akibatnya, tindakan LGBT diancam dengan Pasal 281 KUHP.

Faktor yang ada dalam Pasal 281 KUHP tersebut sangat jelas, ialah faktor “barang siapa” serta faktor “dengan terencana”.

Faktor barang siapa yang tertulis dalam Pasal 281 KUHP pidana berlaku untuk siapa saja tanpa kecuali, serta faktor dengan terencana bisa dimaksud kalau orang yang melakukan tindak pidana asusila dilakukan dengan terencana (dalam konteks ini adalah LGBT).

Perlu diingat, LGBT belum dinyatakan ilegal menurut hukum Indonesia, berbeda dengan sikap tegas Malaysia dalam undnag-undang sodomi.

Binus University dalam laman resminya menyebutkan, ini berarti selama perilaku LGBT tidak melanggar undang-undang lain yang lebih spesifik, seperti yang mengatur tentang keselamatan anak, kesusilaan, pornografi, atau tindak pidana perkosaan, KUHP tidak memandangnya sebagai perbuatan pidana.

Hal ini sejalan dengan Pasal 292 KUHP: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan anak di bawah umur yang sejenis yang diketahui atau patut diduga anak di bawah umur, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Akibatnya, Pasal 292 KUHP terrsebut dapat menjerat LGBT di ranah hukum, namun tidak berlaku bagi LGBT usia dewasa.

Kendati demikian, persetubuhan yang menyimpang disebutkan dalam Pasal 4 Bagian a Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Istilah “hubungan menyimpang” mengacu pada aktivitas seksual apa pun, termasuk seks oral, seks anal, hubungan lesbian, dan hubungan homoseksual.

Dengan demikian, meski Pasal 292 KUHP tidak dapat menjerat orang atau kaum LGBT, namun Pasal 4 Ayat 1 bagian a UU 44/2008 dapat dijadikan acuan untuk menjeratnya.

Sanksi pidana diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008, yakni pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.

Demikian artikel hasil penelitian ini, yang dilakukan menggunakan metode literature rivew dari laporan ilmiah yang berpusat pada topik LGBT.

Data yang digunakan berasal dari penelitian-penelitian yang dilakukan dan dipublikasikan di jurnal online nasional dan buku.

Peneliti: Bintang Pratiwi, Ema Natalia Situngkir, Feby Gabriella Sembiring, Riri Novirta Ramadhan , Silvia Dwi Putri, Yasmin Risha Fadhilah , Sri Yunita (FMIPA Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara).

Judul Asli: LGBT Bertopengkan HAM yang Menjarah Karakteristik Pemuda Indonesia. ***

Baca selengkapnya di GOOGLE NEWS KompolmasTV

Banner 728309

Pos terkait

Ekowisata Serunting - Wisata Bengkulu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *