Hakim dan Panitera MA Diseret ke KPK

Hakim dan Panitera MA diseret ke KPK
Hakim dan Panitera MA diseret ke KPK. Herman Djaya (tengah) melaporkannya hari ini.
Indonesia Memilih

OKNUM Hakim dan Panitera Mahkamah Agung (MA) akhirnya diseret seorang kakek-kakek ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pria berusia 78 tahun bernama lengkap Herman Djaya itu melaporkan Hakim dan Panitera MA karena merasa kehilangan hak atas tanah senilai Rp30 miliar.

Bacaan Lainnya
Banner 728309

Dia terpaksa melakukan itu karena lelah beradu gugatan dengan MAW, terduga mafia tanah yang pernah menipunya mentah-mentah.

Dikisahkan, kasus ini bermula ketika Herman Djaya didatangi Agus Setyanto, Dasri Saleh, dan Marsela, pada 31 Juni 2009 silam.

Mereka bermaksud meminjam uang senilai Rp500 juta dengan dalih untuk bangun ruko, dengan membawa asli Sertifikat Hak Pakai Tanah atas nama MAW.

Luas tanah itu 465 M², berlokasi di Jalan Kebon Kacang Raya Nomor 49, RT. 001/08, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Kemudian, Herman Djaya menyanggupi utang tersebut dengan syarat waktu pengembalian dua bulan.

MAW memberikan asli Sertifikat Hak Pakai Nomor 125, Surat Pernyataan Utang, dan Herman Djaya diberi Akta Kuasa untuk menjual sekaligus dilengkapi Akta Pengikatan Jual Beli kalau MAW tidak membayar utangnya.

Keanehan mulai terjadi saat perjanjian MAW menyuruh seseorang bernama Buce Herlambang mewakilinya memberikan dokumen terkait dan persetujuan atas semua persyaratan yang diajukan Herman Djaya.

Di kemudian hari, beberapa dokumen yang dibawa Buce Herlambang ternyata palsu, termasuk KTP, KK, dan Buku Nikah milik MAW.

Disaksikan notaris, uang Rp500 juta itu selanjutnya diterima Buce Herlambang untuk diserahkan kepada MAW.

Usai terima uang, MAW tidak ada kabar sama sekali alias menghilang. Bahkan hingga lewat enam bulan Herman Djaya tidak dapat mengendus keberadaan si pemilik tanah tersebut.

Mendapati gelagat mencurigakan, Herman Djaya menggunakan haknya untuk membalik nama tanah tersebut dengan datang ke Kantor Notaris/PPAT Refizal SH, setelah sebelumnya membayar lunas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) selama tujuh tahun tunggakan yang jumlahnya senilai Rp17.231.037.

Setelah lama tiada kabar, MAW secara arogan tiba-tiba menduduki tanah yang sedari awal jadi jaminan pinjaman senilai Rp500 juta itu menggunakan massa bayaran.

Karena merasa telah memegang Sertifikat Nomor 125 atas nama Herman Djaya, Herman pun menggugat MAW yang masih dan sedang mengklaim tanah tersebut.

Pada 2013, Herman Djaya menggugat perdata MAW di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Perkara Nomor 247/Pdt.G/2013/PN.JKT.PST.

Dalam putusannya, Hakim menyatakan Sertifikat Nomor 125 atas nama Herman Djaya sah dalam peralihannya sehingga berkekuatan hukum dan MAW melakukan perbuatan melawan hukum dengan menduduki/menguasai tanah orang lain (Pasal 385 KUHP).

MAW yang merasa ditipu dan dibohongi melaporkan Buce Herlambang ke Polda Metro Jaya guna menyeret keterlibatan Herman Djaya sebagai pengguna akta.

Pengadilan berpendapat, pemalsuan diketahui di kemudian hari sehingga Herman terlindung sebagai ‘Pembeli Beritikad Baik’ yang tidak tahu-menahu terkait Buce Herlambang yang mencatut atau memalsukan nama MAW.

Seiring berjalannya waktu, Buce Herlambang mengakui bahwa dirinya sejak awal berkomplot dengan MAW untuk menipu Herman Djaya, termasuk disuruh memalsukan identitas kependudukan milik MAW.

Tapi di akhir permainan, Buce malah dijebak dan dijebloskan sendiri ke penjara oleh MAW agar dia dapat mengklaim dirinya ditipu dan kehilangan tanah atau sebagai korban.

Ini bisa disebut modus baru penipuan yang dijalankan mafia tanah.

 

Ajukan PK

Usai kalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, MAW mengajukan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (No.451/PDT/2015/PT DKI) dan Kasasi (No. 2870K/Pdt/2016) di Mahkamah Agung.

Kedua upaya hukum lanjutan tersebut menguatkan putusan sebelumnya yang memenangkan Herman Djaya.

Usai perkaranya inkrach, Herman Djaya bermaksud melaksanakan eksekusi. Pada 21 Agustus 2019, Herman Djaya mendapat undangan rapat koordinasi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membahas eksekusi pengosongan.

Pada hari H, MAW dengan kekuatan uangnya mengerahkan ratusan oknum anggota Ormas berpakaian putih-putih sehingga eksekusi lapangan gagal karena adanya bentrokan dan kericuhan.

Di tengah frustasi dan kecewa karena gagal mengambil hak atas tanahnya, Herman Djaya malah mendapat pemberitahuan bahwa MAW mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke MA pada 11 September 2019.

 

Markus

Saat harap-harap cemas itulah muncul Mr X yang mengaku punya akses untuk mengatur kasus di lingkungan MA.

Merasa memiliki dasar hukum kuat dan percaya pada pengadilan, Herman Djaya tidak menggubris tawaran makelar kasus (Markus) itu.

Namun, Herman Djaya berbalik cemas saat mendengar informasi bahwa MAW melalui seorang oknum pengacara memiliki koneksi ke oknum panitera dan hakim MA yang memeriksa permohonan PK.

Menghindari kemungkinan pembelokan hukum serta indikasi adanya anasir non-hukum yang diduga bakal mempengaruhi putusan, pada 16 Juni 2021 Herman Djaya mengirim Memorandum Nomor 1310/PAN/INT/HK.02/6/2021.

Kemudian diperkuat dengan surat permohonan penjelasan kepada Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung RI pada 28 Oktober 2021.

Konsideran surat itu kurang lebih berisi keluhan berikut :

  1. Hanya beberapa minggu usai eksekusi pengosongan lahan gagal, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tiba-tiba memutuskan eksekusi dihentikan dengan dalih MAW pada 11 September 2019 mengajukan permohonan PK, sehingga kepastian hukum yang dimiliki Herman Djaya tidak terjamin.
  2. Pertarungan hukum antara Herman Djaya dan MAW sejatinya adalah perang antara korban penipuan melawan penipu. Dan upaya hukum tak berkesudahan yang dilakukan MAW hanyalah trik, siasat, dan akal bulus untuk menunda eksekusi.
  3. Novum atau bukti baru yang diajukan MAW tidak ada atau tidak relevan sama sekali. Sehingga menghentikan eksekusi atas dasar adanya PK memperkuat adanya dugaan unsur-unsur non-hukum yang mempengaruhi keyakinan dan integritas oknum hakim.

 

Markus Menang

Permohonan PK MAW akhirnya diputus dengan Nomor 294/PK/Pdt/2020. Ternyata benar, Herman Djaya dikalahkan.

Semua kemenangannya di tingkat I, II, dan III sebelumnya, jadi runtuh seketika oleh suatu PK yang tidak ada bukti baru, mencurigakan, dan kuat dugaan ada kongkalikong.

Dengan kekalahan pada PK misterius itulah, Herman Djaya sebagai korban dan pemilik sah atas tanah di samping Mall Thamrin City itu merugi Rp30 miliar

Karena sekarang sudah kehilangan segalanya, Herman Djaya mengadukan tingkah-polah oknum hakim MA dan panitera yang mencurigakan itu kepada KPK.

Dia berharap, lembaga antirasuah berani memeriksa dan membersihkan supreme court di Indonesia.

”Saya hari ini didampingi tim pengacara mengadukan seorang oknum hakim MA dan panitera. Saya sebenarnya sudah lelah selama 12 tahun saling gugat lawan mafia tanah yang banyak uang.

Tapi demi keadilan dan kebenaran, saya harus terus melawan walau lawan punya koneksi ke sistem peradilan negara ini. Dia (MAW-red) itu pernah coba memenjarakan saya dua kali, padahal dulu dia mohon-mohon pinjam uang kepada saya,” kata Herman Djaya di Jakarta, Senin (4/7) pagi.

Kakek-kakek yang pernah jadi tersangka karena mempertahankan haknya dan melawan mafia tanah itu sudah putus asa atas maraknya permainan kasus di dalam sistem peradilan.

Dengan melaporkan oknum di lingkungan MA ke KPK, dia berharap jadi warning agar petugas peradilan ingat pada sumpah jabatan dan tidak mempermainkan rakyat pencari keadilan.

“Tadi saya sudah bawa bukti dan petunjuk berjilid-jilid. Bayangkan saja, saya sudah menang di kasasi dan putusan inkrach, semua runtuh gara-gara PK siluman yang ajaib dan sakti.

Ini janggal dan mencurigakan. Semua bukti sudah saya serahkan tadi. Kita berharap KPK segera menindaklanjuti,” ujarnya.

 

Putusan Macan Ompong

Kuasa Hukum Herman Djaya, Muhammad Mualimin memberikan pandangan terkait masalah yang dihadapi kliennya.

Menurut dia, pelaporan oknum Hakim dan Panitera MA merupakan puncak kekecewaan masyarakat biasa yang sudah babak-belur dari segala sisi kemanusiaan yang diakibatkan terblokirnya akses keadilan.

”Herman Djaya ini sudah rugi segalanya dari segi waktu, kesabaran, kepercayaan, dan keadilan. Ini semua disebabkan saluran keadilan mampet karena birokrasi peradilan kita tidak efisien atau melelahkan.

Salah satu kekurangan hukum negara ini adalah banyaknya ‘putusan macan ompong’. Banyak orang menang di atas kertas, tapi obyek tidak bisa dieksekusi, padahal sudah keluar uang banyak,” sesalnya.

KPK yang galak dalam menangkapi kepala daerah atau anggota DPR, tukas Mualimin, mestinya juga harus gahar mendobrak ruang-ruang peradilan di Indonesia yang bisa jadi tidak kalah bobrok dibandingkan birokrasi lainnya.

“Saya harap KPK terus pelototi lembaga peradilan. Rakyat kita sudah lelah dengan lika-liku lorong gelap pencari keadilan,” tekannya.

Selama sistem peradilan masih dihinggapi praktek kotor oknum yang mempermainkan kasus, hemat Mualimin, selama itupula sila kelima Pancasila tidak dapat terwujud.

“Eksistensi suatu negeri menjadi sebuah tragedi manakala pemegang uang selalu jadi pemenang saat melawan pemilik kebenaran,” pungkasnya.[yfi/hra/eb]

Banner 728309

Pos terkait

Ekowisata Serunting - Wisata Bengkulu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *