Kasus SPPD Fiktif Masuki Babak Baru, Permahi Desak DPRA Segera Evaluasi Komisioner KKR

Kasus SPPD fiktif masuki babak baru, Permahi desak DPRA segera evaluasi Komisioner KKR
Kasus SPPD fiktif masuki babak baru, Permahi Aceh desak DPRA segera evaluasi Komisioner KKR. [Foto: Ist. M Rifqi Maulana]

KASUS Dugaan biaya perjalanan dinas (SPPD) fiktif di lingkungan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh masuki babak baru.

Meski sempat tersiar kabar dana tersebut telah dikembalikan, namun Komisi l Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) didesak segera evaluasi Komisioner KKR.

Bacaan Lainnya

Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Cabang Aceh, Muhammad Rifqi Maulana menegaskan, desakan itu berlandaskan hukum yang kuat.

Sebab, dugaan tindak memalukan di lingkungan KKR itu berpeluang rugikan negara dan melukai para korban konflik.

Rifqi menjelaskan, tujuan dibentuknya KKR Aceh sejatinya adalah untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Aceh, yang memiliki fungsi pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan reparasi.

Rekonsiliasi berbentuk seperti pengambilan fakta pernyataan korban konflik, sedangkan reparasi berbentuk seperti bantuan kepada masyarakat korban konflik.

Bantuan itu di antaranya pembangunan rumah duafa, modal usaha, dan pembagian alat kerja bagi korban konflik.

“Tugas dan fungsinya itu menjalankan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan peraturan pelaksanaannya Qanun Aceh Nomor 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh,” urainya, di Banda Aceh, Senin (11/9/2023) pagi.

Mengingat istilah hukum, lanjut Rifqi, ketika situasi hukum dibicarakan “de jure” berarti dinyatakan oleh hukum, sedangkan “de facto” berarti tindakan atau apa yang dilakukan, maka faktanya dugaan korupsi biaya perjalanan dinas KKR Aceh telah melukai hati korban konflik.

“Sangat memalukan. Lembaga yang berjuluk suci yaitu KKR telah dinodai petugasnya yang diduga merugikan negara sekitar Rp258,6 juta,” sesalnya.

Rifqi menduga, tindakan demikian melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair dengan Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU 20/2001.

Pasal ini, terang Rifqi, melarang berbagai bentuk tindakan korupsi, termasuk penyalahgunaan dana perjalanan dinas atau penggelapan dalam penggunaan dana tersebut.

“Walaupun telah mengembalikan, KKR Aceh harus tetap diproses hukum, karena sudah melanggar. Semuanya sama di mata hukum,” tandasnya.

Pasal 4 UU 20/2001 menegaskan, “pengambilan uang itu tidak menghapus pidana”, maka Rifqi meminta Komisi l DPR Aceh segera bergerak.

Dia memandang, sebagai penyambung aspirasi rakyat dan alat kontrol kinerja pemerintah, termasuk terhadap lembaga satu-satunya di Aceh yaitu KKR, maka DPRA perlu segera mengevaluasi Komisioner KKR.

“Ini agar KKR tetap efektif, transparan, dan akuntabel dalam upaya meyakinkan publik bahwa lembaga tersebut benar-benar memperjuangkan hak-hak korban konflik,” harap pemuda ini.

Sehingga, KKR bisa melanjutkan kerja untuk korban konflik dan melanjutkan program sesuai visi-misi dibentuknya. [fq/gns]

Baca selengkapnya di GOOGLE NEWS KompolmasTV

Pos terkait